Hampa Tanpa Umi

 


Minggu terakhir januari 2019


Assalamu'alaikum.
Pagi itu sudah ku buatkan bubur sumsum
Dengan santan lebih sedikit dari biasanya
Karena umi mertua pencernaannya sedang bermasalah. 
Makan apapun jadi sembelit. 
Beliau sosok yang membuatku nyaman tinggal disini, di kampung suami. 
Lima tahun tak ada seharipun tanpa bertemu umi. 
Saya paksakan tiap hari membantu umi masak. 
Memaksakan dari rasa malu, canggung memulai pembicaraan kalau sama mertua
Padahal umi bukan tipikal mertua yang galak ataupun yang suka membicarakan di belakang. 
Sebaliknya, sangatlah baik. 
Tetap, selalu malu bertemu umi. 
Dua tahun terakhir umi mulai drop, efek DM (Diabetes Melitua) yang diderita kurang lebih 12 tahun terakhir.

Ku antarkan bubur itu

Umi, apapun yang ku buatkan pasti dihabiskan
Bahkan golongan daun pahit sekalipun beliau minum
Tapi hari itu, umi melantur
Bertanya di sisinya ada bayi perempuan siapa. 
Padahal itu hanya gundukan selimut
Alih-alih heran, aku yang penakut ini malah merinding.
Tapi umi kembali melantur, kaki nya berat dan minta dilepaskan sandal. Padahal umi sedang tidur di kasurnya  tanpa pakai sendal.
Apa ini ciri orang dekat dengan ajalnya?
Ah malah aku yang melantur. 

"Umi, bubur na emam ayeuna nya? (umi, buburnya makan sekarang ya?) " Aku bertanya dan mendekatkan mangkuk bubur ke dekat umi.
"Moal ah, kin weh (gak ah, nanti aja) " Jawab umi lemas, bahkan badannya masih membelakangku.
"Bade uwih heula nya mi (mau pulang dulu ya bu) " aku bersiap undur karena tugas negara masih menumpuk.
Umi hanya mengangguk.

Jum'at, bapa memanggilku. Ternyata di rumah bapa sudah ada Mak Arum. Maraji yang juga biasa dipanggil untuk men-jampe orang yang sakit. Maklum lah di kampung masih kental jampe men-jampe. Aku berpikir positif, ada do'a dari sepuh maksudnya.

"Umi jangan ditinggalin ya, mulai melantur. Kesadarannya sudah berkurang"
"Iya Mak"

Sejak saat itu semua keluarga bergantian menemani umi. Makin hari makin melantur. Terus mengajak kami mengantarnya pulang, yang umi rasakan beliau sedang berada di luar. Di sekolah katanya. Sedih rasanya. Remuk hati. Puncaknya saat suami diajak 'pulang' oleh umi.

"Uwih kamana umi? Iyeu pan di bumi umi. (Pulang kemana umi? Ini kan di rumah umi"
Umi terus mengajak pulang.
Suami menunduk sambil menekan mata dengan lengannya, menahan tangis yang akhirnya tak terbendung.
"Umi, dzikir yah. Sabar. Umi lagi di ganjar ku Allah" Kata suami sambil memeluk umi.

Sabtu pagi umi masih mau makan, tapi hanya mau disuapi si bungsu, Nurul. Lalu ku seka badannya. Penuh darah di setiap luka bekas garukannya.  Gatal-gatal di badannya semakin parah, efek DM. Luka seperti orang yang jatuh dari motor, lecet seperti terkena jalan aspal.
Lantunan ayat suci A-Qur'an terdengar tanpa henti, di baca oleh keluarga bersama-sama.
Beberapa menit sebelum Ashar, umi menghembuskan nafas terakhir. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.
Langsung ku peluk si bungsu yang sudah beranjak remaja. Seakan ujung dari kesedihan umi yang dipoligami bapa, menahan sedih karena tak ada keterbukaan dari bapa.
Semoga sabar umi jadi ibadah.
Semoga umi husnul-khatimah. Aamiin ya Allah istajib du'ana.
Tak ada lagi tempat curhat di sini. Tempat meminta saran apapun.
Tak ada teman masak.

Berbulan-bulan masih terasa hampa, kaget, secepat ini umi pergi. Tapi sudah Qodo qodar-Nya harus ikhlas kita terima.

Umi yang rajin sholat sunnah, mengikuti pengajian, mengaji Al-Qur'an dari ba'da Dzuhur sampai sebelum Ashar. MasyaAllah. Semoga aku dan keluarga bisa seperti umi.
Sosok kaya, yang sederhana. Sebagian besar rizkinya di bangun majlis dan pesantren. Pakaiannya sederhana, hanya daster dan kain samping sederhana. Tak banyak bicara. Keluar rumah pun hanya ke warung dan ke pengajian.
Bantu do'a, Alfatihah untuk ummi hajjah Ro'biah binti haji Halimi.

Wassalamu'alaikum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ziarah Panjalu, Pamijahan dan Gunung Haruman

Mulai Berani Nulis

Penanganan Demam Pada Anak di Rumah